BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Psikologi
modern bermula di Eropa dengan Wilhelm Wundt sebagai pelopornya dan yang
pertama melakukan dasar-dasar psikologi sebagai suatu disiplin yang semakin
jelas dan kokoh. Perhatian psikologi pertamanya adalah mengkaji aspek-aspek
sensasi (sensation), persepsi (perseption), dan perhatian (attention). Dalam perkembangan
selanjutnya, Hermann Ebbinghaus, seorang ahli dari jerman, merupakan ahli
psikologi yang pertama kali mengkaji pembelajaran secara saintifik dan dikupas
dari sudut pandang psikologi. Pada tahun 1879, dia menggunakan dirinya sendiri
sebagai subjek dalam eksperimen yang mengkaji pembelajaran dan ingatan.
Dari
sinilah awal mulanya berkembangnya psikologi pembelajaran. Beliaulah yang
memperkenalkan ujian “kaitan bebas” (free
association)yang menguji kaitan antara perkataan yang disampaikan oleh
peneliti dengan perkataan yang disampaikan oleh subjek penelitian. Jadi,
menurut Ebbinghaus, tujuan psikologi adalah untuk mengkaji bagaimana manusia
membuat perkaitan antara perkataan atau ide. Ebbinghaus juga terkenal dengan
eksperimen yang menunjukkan fenomena ingatan pada manusia. Pada tahun 1885, dia
melakukan suatu eksperimen yang menunjukkan bahwa “kadar lupa” pada manusia
normal tampak nyata pada permulaan (55% selepas 1 jam) dan berkurang seterusnya
(14% selepas 31 hari). Hasil-hasil eksperimen Ebbinghaus ini yang kemudian
memberikan inspirasi luar biasa kepada ahli psikologi dikemudian hari untuk
mengembangkan lebih lanjut kedalam proses pembelajaran, sehingga makin
berkembanglah disiplin ilmu psikologi pembelajaran.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
yang dimaksud dengan Teori Belajar Behavioristik ?
2. Bagaimana
yang dimaksud dengan Teori Belajar kognitif ?
C.
Tujuan
Masalah
1. Mengetahui
apa yang dimaksud dengan Teori Belajar Behavioristik
2. Mengetahui
apa yang dimaksud dengan Teori Belajar Kognitif
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Teori
Pembelajaran Behavioristik
1.
Pengertian
Behavioristik
Behavioristik
adalah pandangan yang menyatakan bahwa pelaku harus dijelaskan melalu
pengalaman yang dapat diamati, bukan dengan proses mental. Menurut kaum
Behavioris, perilaku ialah segala sesuatu yang kita lakukan dan bisa dilihat
secara langsung.[1]
Teori
belajar behavioristik dikemukakan oleh psikolog behavioristik. Mereka ini
sering disebut “contemporary behaviorist”
atau juga disebut “S-R psychologists”. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku manusia
itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau
penguatan (reinforcement) dari
lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang
erat antara reaksi behaviorial dengan stimulasinya.[2]
Tokoh
utama aliran ini adalah J.B. Watson. Watson sebenarnya mula-mula belajar
filsafat tetapi kemudian pindah kedalam lapangan psikologi sejak tajun 1912.
Watson telah terjadi terkenal karena penyelidikan-penyelidikannya mengenai
proses belajar pada hewan.[3]
Teori
behavioristik menjelaskan pembelajaran tidak dapat dipisahkan begitu saja dari
pandangan-pandangan behavioristik. Sebab, teori ini termasuk pelopor dan
berpengaruh kuat dalam kurun waktu yang lama dalam dunia pembelajaran. Diantara
teori-teori yang dikembangkan oleh psikologi behavioristik untuk menjelaskan
terjadinya proses pembelajaran adalah “pengkondisian klasik” (classical conditioning) yang di
pelopori oleh Ivan Paviov dan “pengkondisian operan” (operant conditioning) yang di pelopori oleh Burrhus F. Skinner.[4]
2.
Pengkondisian
Klasik dalam Pembelajaran
Pada
awal tahun 1900-an seorang ahli psikologi Rusia bernama Ivan Pavlov melakukan
suatu eksperimen secara sistematik dengan tujuan mengkaji bagaimana
pembelajaran berlaku pada suatu organisme. Pavlov menjelaskan kajiannya melalui
prosedur yang kemudian dikenal dengan istilah “Hukum Perkaitan” (Low of Association). Menurut pandangan
ini suatu organisme akan teringat sesuatu karena sebelumnya telah mengalami
suatu yang berkaitan dengannya. Contohnya apabila kita melihat sebuah mobil
mewah, kita mungkin berpikir bahwa yang menyetir atau yang memiliki mobil mewah
itu orang kaya atau seorang yang terkenal.
Berdasarkan
“Hukum Perkaitan” ini, Pavlov mengemukakan bahwa proses pembelajaran pada
dasarnya merupakan pembentukan perkaitan antara Stimulus (S) dan Respon (R).
Pavlov membuktikan teori pembelajaran inidengan melakukan eksperimen terhadap
anjing. Melalui eksperimennya itu, dia mendapat bahwa apabila anjing melihat
bekas makanan, air liurnya keluar. Berdasarkan itu, Pavlov membuat kesimpulan
bahwa anjing tersebut telah “belajar” mengaitkan bekas makanan yang dilihat
dengan yang akan diberikan. Pavlov mengaitkan kajiannya dengan menguji hipotesis
bahwa sesuatu organisme bisa diajar bertindak dengan pemberian stimulus
rangsangan.
Perhatikan
skema eksperimen Pavlov berikut ini :
Sebelum
Pengkondisian
STD (makanan)
>>>>>>> RTD (keluar air liur)
SD
(lonceng)
>>>>>>> Tak ada RD (air liur tidak keluar)
Selama
Pengkondisian
SD (lonceng) 4
STD (makanan) >>>>> RTD (keluar air liur)
Selepas
Pengkondisian
SD (lonceng)
>>>>>>> RD (keluar air liur)
Keterangan
:
STD = Simulus
Tak Dikondisikan (Unconditioned Stimulus)
SD = Simulus Dikondisikan (Conditioned Stimulus)
RTD = Respon Tak
Dikondisikan (Conditioned Response)
RD = Respon
Dikondisikan (Conditioned Response)
Berdasarkan eksperimen dengan
menggunakan pengkomulisian klasik tersebut, diperoleh kesimpulan berkenaan
dengan beberapa cara perubahan tingkah laku, yang dapat juga digunakan dalam
proses pembelajaran, yaitu :
a.
Penguasaan (Acquisition)
Penguasaan yaiyu
organisme mempelajari atau menguasai suatu respon baru yang berlangsung secara
bertahap. Seringkali organisme itu juga mencoba dan berusaha lebih menguatkan
penguasaan yang bersangkutan.
b.
Generalisasi
(Generalization)
Dalam eksperimennya, Pavlov juga telah menggunakan
bunyi lonceng yang berlainan nada, tetapi anjing itu masih tetap mengeluarkan
air liur. Ini menunjukkan bahwa suatu organisme yang telah di kondisikan,
meskipun diberikan suatu stimulus yang tak di kondisikan (STD : seperti
lonceng) juga akan menghasilkan respon yang dikondisikan (RD : keluar air liur)
walaupun stimulus itu berlainan atau hampir sama (yaitu nada lonceng yang berlainan).
Dengan perkataan lain, organisme itu dapat membuat generalisasi bahwa bunyi
yang berlainan atau hampir sama mungkin di ikuti dengan respon (makanan).
c.
Diskriminasi
(Discrimination)
Pavlov juga
mendapati bahwa apabila dia menukar nada bunyi lonceng, anjing itu masih
mengeluarkan air liur. Jika nada bunyi lonceng itu jauh berbeda dengan bunyi
lonceng yang sebelumnya, maka anjing tersebut tidak mengeluarkan air liur. Ini
menunjukan bahwa organisme yang bersangkutan dapat membedakan atau
mendiskriminasikan antara stimulus yang diberikan dan memilih untuk tidak
merespons. Ini berarti bahwa satu organisme bisa merespons terhadap sesuatu
stimulus tertentu, tetapi tidak kepada stimulus yang lain.
d.
Penghapusan
(Extinction)
Sekiranya
sesuatu stimulus yang dikondisikan (lonceng) tidak diikuti dengan stimulus yang
tak dikondisikan (makanan), lama kelamaan organisme itu tidak akan merespons.
Ini berarti bahwa respons secara bertahap terhapus.
1)
Pengkondisian
operan dalam pembelajaran
Pengkondisian
operan (operant conditioning)
dipelopori oleh Burrhus F. Skinner yang didasarkan pada banyak penelitian yang
telah ia lakukan. Buku pertamanya yang berjudul “The Behavior of Organinisms” ditulis pada tahun 1938 yang
menguraikan prinsip-prinsip utama teori pengkondisian operan tersebut.
Perkataan “operan” diciptakan oleh
Skinner yang berarti “bertindak ke atas”.
Menurut teori pengkondisian operan ini dikatakan bahwa apabila organisme
menghasilkan sesuatu respons disebabkan karena organisme itu bertindak ke
sesuatu yang lebih baik. Contohnya, seekor anjing itu tahu bahwa tingkah
lakunya itu akan diikuti dengan diberikannya makanan. Begitu juga dengan
seorang siswa yang mengemaskan bukunya dengan rapi jika dia tahu bahwa akan
diberikan hadiah oleh gurunya.
Perbedaan mendasar antara
pengkondisian operan dengan pengkondisian klasik adalah bahwa dalam
pengkondisian klasik, organisme tidak mengubah keadaan subjek eksperimen.
Misalnya, anjing pavlov tidak ada
pilihan untuk bertindak dengan mengeluarkan air liur apabila diberikan makanan
dengan bunyi lonceng. Sedangkan, dalam pengkondisian operan, organisme
mempunyai pilihan untuk bertindak atau tidak karena responsnya menentukan
stimulus (makanan) yang diberikan.
a.
Prinsip-prinsip
dalam penkondisian operans.
Menurut
Skinner, pengkondisian operan terdiri dari dua konsep utama, yaitu: (a)
penguatan (reinforcement), yang
terbagi kedalam penguatan positif dan penguatan negative; (b) hukuman (punishment).
Peneguhan
positif (positive reinforcement)
adalah apa saja stimulus yang dapat meningkatkan sesuatu tingkah laku. Contoh :
(1) tikus yang menekan kunci pintu kemudian diberikan makanan akan mengulang
tingkah laku itu dengan harapan mendapat makanan lagi. (2) seorang anak yang
menyelesaikan pekerjaan rumahnya (pr) kemudian dibolehkan menonton TV, maka ia
akan mengurangi tingkah laku itu. (3) seorang siswa yang mencapai prestasi
tinggi diberikan hadiah, maka ia akan mengulangi prestasi itu dengan harapan
dapat hadiah lagi. Perlu di ingat bahwa sesuatu penguatan itu bisa berupa
benda, penguatan social (seperti pujian, sanjungan ) atau “token” (seperti naik ujian).
Peneguhan
negative (negative reinforcement)
adalah apasaja stimulus yang menyakitkan atau yang menimbulkan keadaan tidak
menyenangkan atau tidak mengenakkan perasaan sehingga dapat mengurangi terjadi
sesuatu tingkah laku. Contoh: (1) tikus yang dikejutkan dengan elektrik akan
terus menakan alat yang dapat mengurangkan kejutan elektrik tersebut. (2)
seorang siswa akan meninggalkan kebiaasaan terlambatmengumpulkan tugas/ PR
karena tidak tahan selalu di cemooh oleh gurunya. (3) seorang ibu akan
mengangkat bayi nya yang menangis karana tidak tahan melihat dan mendengar
anaknya menagis menjerit-jerit.
Hukuman (punishment) adalah apa saja stimulus yang menyebabkan sesuatu
respons atau tingkah laku menjadi berkurang atau bahkan langsung dihapuskan
atau ditinggalkan. Contoh : (1) anak yang tidak membantu ibu tidak dibolehkan
bermin bola (disini anak menghentikan kesukaan main nya). (2) seorang siswa
yang tidak mengerjakan PR tidak dibolehkan bermain bersama teman-temannya saat
jam istirahat.
3. pembentukan
tingkah laku melalui pengkondisiaan operan.
Ada sejumlah teknik-teknik dalam pengkondisian operan
yang dapat digunalkan dalam pembentukan tingkah laku. Termasuk dalam tingkah
laku dalam pembelajaran, yaitu sebegai berikut :
1.
Pembentukan
Respons (shaping Behaviour)
Berasaskan pengkondisian operan. Skinner pada tahun
1991 mengembangkan teknik “ pembentukan respons” (Shaping) untuk melatih hewan
menguasai tingkah laku yang kompleks yang juga relavan dengan tingkah laku
manusia. Teknik pembentukan respons ini dilakukan dengan cara menguatkan
organisme pada setiap kali dia bertindak kearah yang di inginkan sehingga Ia
menguasai atau belajar merespons sampai pada suatu saat tidak perlu lagi
menguatkan respons tersebut.
2.
Generalisasi
diskriminasi dan penghapusan
Generalisasi adalah penguatan yang hampir sama dengan
penguatan sebelumnya akan dapat menghasilkan respons yang sama. Contoh: seorang
siswa mengerjakan PR dengan tepat waktu karena minggu lalu mendapatkan pujian
oleh gurunya ketika dapat mengdapatkan pujian dari gurunya. Diskriminasi adalah
respons organisme terhadap sesuatu penguatan, tetapi tidak terhadap jenis
penguatan yang lain. Contoh: seorang siswa mengerjakan PR dengan tepat waktu
karena mendapat pujian dari pak Mustafa pada mata pelajaran IPA, tetapi tidak
demikian halnya ketika mendapat pujian dari ibuk sarah pada mata pelajaran IPS.
Penghapusan adalah sesuatu respons penghapus secara terhadap apabila penguatan
atau ganjaran tidak diberikan lagi.
3.
Jadwal
penguatan (schedule of reinforcement)
Penguatan berkelanjutan adalah penguatan yang diberikan
pada saat setiap kali organisme individu menghasilkan suatu respons. Contoh:
setiap kali seorang siswa mampu mengerjakan soal dengan betul, guru selalu
memberikan pujian kepadanya. Penguatan
berkala adalah ganjaran atau bpenguatan yang diberikan dalam jangka waktu
tertentu. Dalam pemberian penguatan berkala ini. Ada dua cara, pemberian
penguatan berdasarkan: “nisbah” (rasio) yang kemudian disebut “penguatan” dan berdasarkan interval
waktu yang kemudian disebut penguatan
waktu.
Penguatan nisbah
dibagi menjadi 2, yaitu: (a) misbah tetap
adalah apabila penguatan diberikan setiap beberapa respons terjadi. (b)
nisbah berubah adalah apabila penguatan diberikan setelah beberapa kali respons
yang muncul, tetapi kadarnya tidak tetap. penguatan waktu juga dibagi menjdi
dua yaitu: (a) waktu tetap adalah
apabila penguatqan diberikan pada akhir waktu yang ditetapkan. (b) waktu berubah adalah apabila penguatan
diberikan pada akhir waktu yang ditetapkan, tetapi waktu yang di tetapkan
berbeda berdasarkan respons yang muncul.
4.
Penguatan
positif
Dalam penguatan positif ini dilakukan dengan
memberikan ganjaran sesegera mungkin setelah suatu tingkah laku yang di
inginkan muncul.
5.
Penguatan
intermiten
Dalam penguatan ini dilakukan dengan memberikan
ganjaran untuk memelihara perubahan tingkah laku atau respons positif yang
telah dicapai seseorang.
6.
Penghapusan
Penghapusan dilakukan dengan cara tidak memberikan
penguatan sama sekali atau tidak menghiraukan respons yang muncul pada
seseoran.
7.
Percontohan
Percontohan perilaku atau respons individu yang
dilakukan dengan mencontoh tingkah laku orang lain.
8.
Token
economy
Token
economy Adalah
memberikan ganjaran berupa sesuatu yang memiliki nilai ekonomi ketika seseorang
telah mampu menunjukan respons atau tingkah laku yang positif sesuai yang
diharapkan.[5]
B.
Teori
Pembelajaran Kognitif
a.
Pengertian
Kognitif
Istilah
Kognitif sering kali dikenal dengan istilah intelek. Intelek berasal dari
bahasa inggris “intellect” yang
menurut Chaplin (1981) diartikan sebagai:
1. Proses
kognitif, proses berpikir, daya menghubungkan, kemampuan menilai, dan kemampuan
mempertimbangkan.
2. Kemampuan
mental atau inteligensi.
Menurut Mahfudin
Shalahudin (1989)dinyatakan bahwa “Intelek”
adalah akal budi atau inteligensi yang berarti kemampuan untuk meletakkan
hubungan-hubungan dari proses berpikir. Selanjutnya di katakan bahwa orang yang
intelligent adalah orang yang dapat menyelesaikan persoalan dalam tempo yng
lebih singkat, memahami masalahnya lebih cepat dan cermat, serta mampu
bertindak cepat.
Jean Piaget
mendefinisikan “Intellect” ialah akal
budi berdasarkan aspek-aspek kognitif nya. Khususnya proses-proses berfikir
yang lebih tinggi. Sedangkan “Intelligence”
atau intelligensi menurut Jean Piaget diartikan sama dengan “kecerdasan” yaitu
seluruh kemampuan berpikir dan bertindak secara adaptif termasuk
kemampuan-kemampuan mental yang kompleks seperti berpikir, mempertimbangkan,
menganalisis, mengsintensis, mengevaluasi, dan menyelesaikan
persoalan-persoalan. Jean Piaget mengatakan bahwa inteligensi adalah seluruh
kemungkinan koordinasi yang memberi struktur kepada tingkah laku suatu
organisme sebagai adaptasi mental terhadap situasi baru. Dalam arti sempit,
intelligensi sering kali di artikan sebagai intelligensi operasional, termasuk
pula tahapan-tahapan yang sejak dari periode sensomotoris sampai dengan
operasional formal.[6]
b.
Teori-teori
Belajar Psikologi Kognitif
Dalam
teori belajar ini berpendapat, bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya
dikontrol oleh “Reward” dan “Reinforcement”. Mereka ini adalah para
ahli jiwa aliran kognitifis. Menurut pendapat mereka, tingkah laku seseorang
senantiasa didasarkan pada kognisi yaitu tindakan mengenal atau memikirkan
situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang
terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh “Insight” untuk pemecahan masalah. Jadi kaum kognitif berpandangan,
bahwa tingkah laku seseorang lebih bergantung kepada insight terhadap hubungan-hubungan yang ada di dalam suatu situasi.
Keseluruhan nya adalah lebih kepada bagian-bagiannya. Mereka memberi tekanan
pada organisasi pengamatan atas stimulus didalam lingkungan serta faktor-faktor
yang mempengaruhi pengamatan.
1.
Teori Belajar “Cognitive-field” dari Lewin
Bertolak
dari penemuan Gestalt Psychology, Kurt Lewin (1892-1947) mengembangkan suatu
teori belajar “Cognitive-field” dengan
menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial. Lewin memandang
masing-masing individu sebagai berada di dalam suatu medan kekuatan, yang
bersifat psikologis. Medan kekuatan psikologis dimana individu bereaksi disebut
“Life space”. “Life space” mencakup
perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya : orang-orang yang ia
jumpai, objek materil yang ia hadapi, serta fungsi-fungsi kejiwaan yang ia
miliki.
Lewin
berpendapat, bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar
kekuatan-kekuatan, baik yang dari dalam diri individu seperti tujuan,
kebutuhan, tekanan kejiwaan, maupun dari luar diri individu seperti tantangan
dan permasalahan. Menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari
perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil
dari dua macam kekuatan satu dari struktur medan kognisi itu sendiri, yang
lainnya dari kebutuhan dan motifasi internal individu. Lewin memberikan peranan
yang lebih penting pada motivasi dari pada Reward.
2.
Teori belajar “Cognitve-Developmental” dari Piaget
Dalam
teorinya, Piaget memandang bahwa proses berfikir sebagai aktivitas gradual dari
fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak.
Piaget
adalah seorang psikolog “Developmental” karena
penelitiannya mengenai tahap-tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur
yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Dia adalah salah seorang psikolog
yang suatu teori konprehensif tentang perkembangan inteligensi atau proses
berpikir. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan
kemampuan-kemampuan mental baru yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan
intelektual adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Apabila ahli
biologi menekankan penjelasan tentang pertumbuhan struktur yang memungkinkan
individu mengalami penyesuaian diri dengan lingkungan, maka Piaget tekanan
penyelidikannya lain. Piaget menyelidiki masalah yang sama dari segi
penyesuaian / adaptasi manusia serta meneliti perkembangan intelektual atau
kognisi berdasarkan dalil bahwa struktur intelektual terbentuk di dalam
individu akibat interaksinya dengan lingkungan.
Piaget
memakai istilah “Scheme” secara “Interchangably” dengan istilah struktur.
Scheme adalah pola tingkah laku yang dapat diulang. Scheme berhubungan dengan :
-
Reflek-reflek pembawaan ; misalnya
bernafas, makan, minum.
-
Scheme mental ; misalnya “Scheme of classification”, “Scheme of
operation” (pola tingkah laku yang masih sukar diamati seperti sikap)
Menurut
piaget intelligensi itu sendiri terdiri dari tiga aspek, yaitu :
1.
Struktur, disebut juga “Scheme”, seperti yang dikemukakan di
atas.
2.
Isi, disebut juga “Content”, yaitu pola tingkah laku spesifik tat kala individu
menghadapi sesuatu masalah .
3.
Fungsi, disebut juga “Function”, yang berhubungan dengan cara
seseorang mencapai kemajuan intelektual.
Jadi secara singkat dapat dikatakan
bahwa pertumbuhan intelektual anak mengandung tiga aspek, yaitu Structure, content, dan funcion. Anak
yang sedang mengalami perkembangan, struktur dan konten intelektualnya berubah
/ berkembang. Fungsi dan adaptasi akan tersusun sehingga melahirkan suatu
rangkaian perkembangan ; masing-masing mempunyai struktur psikologis khusus
yang menentukan kecakapan pikiran anak. Maka Piaget mengartikan inteligensi
adalah sejumlah struktur psikologis yang ada pada tingkat perkembangan khusus.
Tahap-tahap perkembangan menurut piaget
:
1. Kematangan
2. Pengalaman
fisik/lingkungan
3. Transmisi
sosial
4. Equilibrium
atau self regulation
Selanjutnya ia membagi
tingkat-tingkat perkembangan, yaitu :
·
Tingkat sensomotorik : 0,0 – 2,0
·
Tingkat preoperasional : 2,0 – 7,0
·
Tingkat operasi konkret : 7,0 – 11,0
·
Tingkat operasi formal : 11,0 ----
3.
Jerome
Bruner dengan “Discovery Learning” nya
Yang
menjadikan dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa
anak harus berperan secara aktif dalam belajar di kelas. Untuk itu, Bruner
memakai cara dengan apa yang disebutnya “Discovery
learning”, yaitu dimana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan reception learning atau expository teaching, dimana guru
menerangkan semua informal dan murid harus mempelajari semua bahan / informasi
itu.
Banyak
pendapat yang mendukung discovery
learning itu, diantarnya : J. Dewey (1933) dengan “complete art of reflective activity”atau terkenal dengan problem solving. Di dalam buku itu ia melaporkan hasil dari suatu
konferensi diantara para ahli science, ahli
sekolah / pengajaran dan pendidik tentang pengajaran science. Dalam hal ini ia mengemukakan pendapatnya, bahwa mata
pelajaran dapat diajarkan secara efektif dalam bentuk intelektual yang sesuai
dengan tingkat perkembangan anak. Pada tingkat permulaan pengajaran hendaknya
dapat melalui cara-cara yang bermakna, dan makin meningkat ke arah yang
abstrak.
Bruner
mendapat pernyataan “bagaimana kita dapat mengembangka program pengajaran yang
lebih efektif bagi anak yang muda”? jawaban bruner adalah dengan
mengkoordinasikan mode penyajian bahan dengan cara dimana anak dapat
mempelajari bahan itu, yang sesuai dengan tingkat kemajuan anak.
Tingkat-tingakat kemajuan anak dari tingkat representasi sensory (enactive) ke presentasi konkret (iconic) dan akhirnya ke tingkat
representasi yang abstrak (symbolic). Demikian
juga dalam penyusunan kurikulum.
Pernyataan
lain dalam Process of education ialah
tentang bagaimana mata pelajaran itu harus diajarkan. “ kurikulum dari suatu
mata pelajaran harus ditentukan oleh pengertian yang sangat fundamental bahwa
hal itu dapat dicapai berdasarkan prinsip-prinsip yang memberikan struktur
bagian mata pelajaran itu”. Maka didalam mengajar harus dapat diberikan kepada
murid struktur dari mata pelajaran itu, murid harus mempelajari prinsip-prinsip
itu sehingga terbentuklah suatu disiplin. Sekali murid mengetahui prinsip itu,
ia adalah masalah di dalam disiplin itu. Bruner menyebutkan hendaknya guru
harus memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem
solver, seorangscienst, historin, atau ahli matematika.biarkanlah murid-murid
kita menemukan arti bagi diri mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk
mempelajari konsep-konsep dalam bahasa yang dimengerti mereka.[7]
C.
Hubungan
Kognitif dengan Tingkah Laku
Intelegensi
menurut Piaget merupakan pernyataandari tingkah laku adaptasi yang terarah
kepada kontak dengan lingkungan dan penyusunan pemikiran. Piaget memposisikan
subjek sebagai pihak yang aktif dalam interaksi adaptasi antara organisme atau
terjadi hubungan dialektis antara organisme dengan lingkungannya. Interaksi
antara organisme dengan lingkungannya lebih bersifat interaksi timbal balik.
Hanya dalam bentuk interaksinya juga setiap perubahan tingkah laku adalah
merupakan hasil dialektis pengaruh timbal balik antara organisme dan
lingkungannya. Karena pandangannya yang demikian itu, maka teori Piaget tentang
intelegansi atau kognitif disebut juga dengan “teori interaksionisme (intractionism theory)” (Bybee dan Sund,
1982).
Jean
Piaget memiliki pandangan dasar bahwa setiap organisme memiliki kecenderungan
inheren untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Inteligensi sebagai bentuk
khusus dari penyesuaian organisme, baru dapat diketahui berkat dua proses yang
saling mengisi yaitu yang disebut dengan istilah “Asimilasi” dan “Akomodasi”.
Asimilasi adalah suatu proses individu memasukkan dan menggabungkan
pengalaman-pengalaman dengan struktur psikologi yang telah ada pada diri
individu. Proses asimilasi dan akomodasi merupakn dua proses yang berlawanan.
Jika dalam asimilasi prose yang terjadi adalah menyesuaikan
pengalaman-pengalaman baru yang diperolehnya dengan struktur skema yang ada
dalam diri individu, sedangkan akomodasi merupakan proses penyesuaian skema
dalam diri individu dengan fakta-fakta baru yang diperoleh melalui pengalaman
dari lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA
John W.
Santrock, Psikologi Pendidikan Edisi Ke
dua, Jakarta : Kencana : 2007
M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, Jakarta : CV
Rineka Cipta : 2012
Mohammad
Asrosri, Psikologi Pembelajaran, Bandung
: CV Kencana Prima : 2007
Sumadi
Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada : 2005
[1]
Jhon W. Santrock, Psikologi Pendidikan
Edisi ke-2, (Jakarta : Kencana : 2007), hal. 266
[2]
M. Dalyono, Psikologi Pendidikan,
(Jakarta : Rineka Cipta :2012), hal. 30
[3]
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada : 2005), hal. 266
[4]
Muhammad Asrori, Psikologi Pembelajaran,
(Bandung : CV Wacana Prima : 2007), hal. 6
[5]Muhammad
Asrori, Psikologi Pembelajaran, (Bandung
: CV Wacana Prima : 2007), hal. 6-12
[6]Muhammad
Asrosi, Psikologi Pendidikan, (Bandung
: CV Wacana Prima : 2007), hal. 48
[7]M.
Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta
: CV Rineka Cipta : 2012), hal. 34-43