BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap individu memiliki
karateristik yang berbeda-beda. Perbedaan secara umum disebabkan oleh dua
faktor, yakni faktor bawaan dan faktor lingkungan. Faktor bawaan merupakan
faktor biologis yang diturunkan melalui pewarisan genetik oleh orang tua.
Faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya perbedaan individual diantaranya
status sosial, pola asuh orangtua, budaya.
Perbedaan-perbedaan
individual yang nampak diantaranya adalah perbedaan budaya, sosial, gender,
perbedaan kemampuan, perbedaan kepribadian, serta perbedaan gaya belajar. Perbedaan
tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap proses-proses pembelajaran. Oleh
sebab itu, makalah ini ditulis dengan judul “Perbedaan di dalam kelas (budaya,
sosial, gender)” untuk menjelaskan hubungan antara perbedaan dan proses
pembelajaran serta program-program pembelajaran apa saja yang baik dan tepat
digunakan di dalam kelas.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana implikasi perbedaan
individual dalam proses pembelajaran?
2.
Apa saja perbedaan-perbedaan
yang ada di dalam kelas ?
3.
Apa saja aplikasi perbedaan
individu di dalam kelas ?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Menjelaskan implikasi perbedaan
individual dalam proses pembelajaran.
2.
Menjelaskan perbedaan-perbedaan
di dalam kelas.
3.
Menjelaskan Aplikasi perbedaan
individu di dalam kelas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Implikasi Perbedaan Individual
Dalam Proses Pembelajaran
Secara
sunatullah, manusia diciptakan secara beragam bukan seragam. Manusia tumbuh dan
berkembang ditentukan oleh apa yang dibawa sejak lahir dan dipengaruhi oleh
pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. manusia sebagai individu, memiliki
berbagai kesamaan dan sekaligus perbedaan-perbedaan antara satu dengan yang
lain, bahkan perbedaannya lebih banyak daripada kesamaan. perbedaan-perbedaan
itu nampak misalnya dalam hal emosional, minat bahkan perhatian.
perbedaan-perbedaan dan kesamaan yang ada pada individu tidaklah mudah ditelusuri
secara detail karena individu-individu itu sangat kompleks. oleh karena itulah,
maka kita tidak mungkin menuntut bahkan memperlakukan hal yang sama kepada
semua siswa. Maka dalam situasi perbelajaran, dalam situasi interaksi antara
guru dan siswa perlu mempertimbangkan dan memperhatikan adanya perbedaan
individu tersebut[1].
Setiap individu memiliki
aneka kemampuan yang bersifat umum dan juga kemampuan yang bersifat khusus. Hal
ini merupakan suatu hakekat individu, bahwa
setiap orang adalah berbeda. Antara dua anak kembar pun yang bisa
dilihat mirip, tetapi tetap dikatakan mirip tetapi tak sama. Perbedaan itu
menjadi nyata dan tampak dalam berbagai aspek perkembangan yang ada dalam diri
individu. Jadi perbedaan individu dapat diartikan sebagai cara
di mana orang berbeda satu sama lain
secara konsisten dan tetap.[2]
Guru
sudah sewajarnya memperhatikan cara-cara belajar siswa di samping memperhatikan
bahan ajar dan kegiatan-kegiatan belajar.untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan
perkem bangan yang optimal pada diri siswa maka guru diharapkan memperhatikan
keadaan-keadaan individu siswa, seperti minat, motivasi, kemampuan, dan bahkan latar belakang siswa. di
sisi lain guru juga dituntut merancang bahan ajar dan situasi pembelajaran yang
memungkinkan setiap individu berkembang secara lebih baik. Jangan sampai bahan
ajar dan situasi belajar menakutkan siswa bahkan mematikan minat siswa secara
perseorangan.
B.
Perrbedaan-Perbedaan di dalam Kelas
Perbedaan
di dalam kelas itu di sebabkan oleh beberapa faktor:
1.
Kepribadian
Kepribadian atau
personalitas ialah pemikiran, emosi dan perilaku tertentu yang menjadi ciri
dari seseorang menghadapi dunianya. Kepribadian mencakup lima hal yang menjadi
ciri bawaan yang menonjol yakni, openness
(keterbukaan terhadap pengalaman),
conscientiousness (kepatuhan),
extraversion (keterbukaan terhadap orang lain), agreebleness (kepekaan nurani),
neoroticism (stabilitas emosional).
Dalam konteks pembelajaran,
guru harus dapat mendalami dan memahami keanekaragaman karakteristik kepribadian
muridnya. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran menjadi suatu kegiatan yang
menyenangkan walau dijalankan dalam situasi yang beragam.
2. Temperamen
Temperamen adalah gaya
perilaku seseorang dan cara khasnya dalam memberi tanggapan atau respons.
Beberapa murid bertemperamen aktif, sedangkan yang lainnya tenang. Beberapa
murid merespons orang lain dengan hangat sedangkan yang lainnya secara sambil
lalu. hal inilah yang mngindikasikan adanya variasi temperamen dalam diri
siswa.[3]
Temperamen dikategorikan dalam
tiga kelompok sebagaimana yang dikelompokkan oleh Chees dan Thomas, yakni: anak
mudah (easy child), anak sulit (difficut child) dan anak lambat bersikap
hangat (slow-to-warm-up child).
Pengelompokkan atas temperamen ini kemudian direvisi kembali oleh Rothbard dan
Bates yang lebih memfokusnya pada (1) sikap dan pendekatan positif; (2) sikap
dan pendekatan negatif; (3) usaha kontrol atau pengaturan diri.
Dalam konteks pembelajaran,
ada beberapa strategi yang berhubungan dengan temperamen murid, yakni memberi
perhatian dan penghargaan pada individualitas, memperhatikan strukstur
lingkungan murid, dan waspada terhadap problem yang dapat muncul apabila
memberi cap sulit bagi seorang anak yang menyusun paket program untuk anak
sulit.
3.
Budaya
Setiap manusia hidup dan
dibesarkan dalam budaya tertentu. Budaya telah diwariskan secara turun temurun
dari generasi ke generasi. Semuanya diwariskan dan berurat akar dalam diri dan
kehidupan setiap individu. Hal ini jelas juga akan berpengaruh terhadap pelaksanaan
pendidikan. Setiap siswa yang berasal dari budaya dan kebiasaan yang
berbeda-beda disatukan dalam satu lingkup pendidikan.
Budaya sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pembelajaran. Banyak aspek
budaya mempunyai andil bagi identitas dan konsep diri pelajar dan mempengaruhi
nilai, sikap dan harapan, hubungan sosial, penggunaan bahasa, dan perilaku lain
dari para pelajar. Hal ini mewajibkan sekolah (lingkungan pendidikan) agar
mampu merangkum semua siswa dari berbagai budaya dan kebiasaan agar dididik
secara efektif dan efisien.[4]
a.
Kesukuan
Ras
Pengaruh kelompok mayoritas dalam pelaksanaan pembelajaran sangat besar.
Akibatnya ada kecenderungan bahwa murid yang berasal dari kelompok minoritas,
akan sulit bersaing dengan murid yang berasal dari kelompok mayoritas. Oleh
karena itu, para pendidik dan juga stakeholders dalam pendidikan harus berusaha
untuk mengedepankan pendidikan multikultural dan menciptakan lingkungan
pendidikan yang kondusif, adil dan peluang yang setara, pembinaan keharmonisan
ras dan pencegahan segregasi (pengucilan, pengasingan, pemisahan).
Pendidikan multikultural mengharuskan penghargaan terhadap keragaman
budaya dan peningkatan kesetaraan pendidikan dan keharmonisan sosial di
sekolah-sekolah. Hal ini meliputi
pengintegrasian isi pelajaran, konstruksi pengetahuan, pengurangan prasangka,
pedagogi keadilan, dan budaya sekolah yang memberdayakan.
Langkah pertama dalam pendidikan multikultural ialah agar guru, pengurus,
dan staf sekolah yang lain belajar belajar tentang budaya para peserta didik
dan dengan saksama mempelajari semua kebijakan, praktik, dan kurikulum yang
digunakan di sekolah guna mengidentifikasi setiap bidang yang mungkin
melenceng.[5]
b.
Perbedaan
Bahasa
Perbedaan bahasa yang digunakan siswa dalam lingkungan keluarga dan
sekolahnya akan menjadi masalah yang besar dalam melaksanakan pembelajaran.
Riset terakhir menunjukkan bahwa pendidikan dwibahasa (bilingual education),
khususnya pendidikan dwibahasa berpasangan dapat memberi manfaat bagi siswa.
Hal ini sangat terasa dalam konteks pendidikan yang diselenggarakan dalam
suatu wilayah yang beragama bahasa. Guru yang baik dan profesional harus
memiliki kemampuan untuk mempelajari bahasa lokal di mana dia mengabdi.[6]
4.
Sosial
Status sosio-ekonomi yang didasarkan pada penghasilan, pekerjaan,
pendidikan, dan gengsi sosial sangat mempengaruhi sikap pelajar terhadap
sekolah, pengetahuan, kesiapan belajar, dan pencapaian akademis. Siswa yang
berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah mengalami tekanan yang
mempunyai andil bagi praktik pengasuhan anak, pola komunikasi, dan harapan yang
rendah yang mungkin akan kurang menguntungkan anak-anak ketika mereka memasuki
sekolah.
Implikasinya bagi pendidikan ialah agar memperhatikan kebutuhan semua
peserta didik secara adil dan merata. Dalam artian, perhatian tersebut harus
sama terhadap semua siswa tanpa memandang status sosial orang tua siswa. Namun
perlu juga untuk memahami keberadaan dan perkembangan siswa berdasarkan status
sosial orang tua mereka. Hal ini sangat membantu guru dalam menangani masalah
yang dialami oleh peserta didik.
5.
Gender
Jenis kelamin individu sebagai perempuan dan laki-laki merupakan ciri
biologis yang terlihat jelas dan abadi. Namun demikian, banyak perbedaan peran
antara perempuan dan laki-laki yang merupakan ciptaan masyarakat sosial.
Kebanyakan dalam masyarakat, selalu ada pemisahan dan perbedaan peran yang
jelas antara perempuan dan laki-laki. Hal ini memang merupakan suatu budaya
yang telah diwariskan turun temurun.
Lembaga pendidikan sebagai tempat membina dan mendidik generasi muda juga
mengalami imbas bias gender ini. Sering muncul dalam proses pembelajaran suatu
pandangan yang sterotipe dan perlakuan yang berbeda terhadap pria dan wanita,
yang biasanya selalu menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lainnya.
Ketidakadilan gender di ruang kelas atau yang dikenal dengan bias jender dalam
pembelajaran (pendidikan) sangat memengaruhi pilihan dan pencapaian siswa dalam
belajar. Oleh karena itu diharapkan pendidikan harus mengedepankan pendidikan
berperspektif kesetaraan gender.
Dalm kelas misalnya, guru harus menghindari sterotipe gender, menumbuhkan
integritas peserta didik tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, dan
memperlakukan perempuan dan laki-laki secara setara.[7]
Yang dimaksud bias
gender adalah mengunggulkan salah satu jenis kelamin dalam kehidupan sosial
atau kebijakan publik. Bias gender dalam pendidikan adalah realitas pendidikan
yang mengunggulkan satu jenis kelamin tertentu sehingga menyebabkan ketimpangan
gender.[8]
Berbagai bentuk
kesenjangan gender yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat,
terpresentasi juga dalam dunia pendidikan. Bahkan proses dan institusi
pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan melestrikan
nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai ketimpangan
gender dalam masyarakat. Secara garis besar, fenomena kesenjangan gender dalam
pendidikan dapat diklasifikasi dalam beberapa dimensi, antara lain:
a.
Kurangnya partisipasi (under-participation). Dalam hal
partisipasi pendidikan,perempuan di seluruh dunia menghadapi problem yang sama.
Dibanding lawan jenisnya, partisipasi perempuan dalam pendidikan formal jauh
lebih rendah. Dinegara-negara dunia ketiga dimana pendidikan dasar belum
diwajibkan, jumlah murid perempuan umumnya hanya separuh atau sepertiga jumlah
murid laki-laki.[9]
b.
Kurangnya keterwakilan (under-representation). Partisipasi
perempuan dalam pendidikan sebagai tenaga pengajar maupun pimpinan juga
menunjukkan kecenderung disparitas progresif. Jumlah guru perempuan pada
jenjang pendidikan dasar umumnya sama atau melebihi jumlah guru laki-laki.
Namun, pada jenjang pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi, jumlah tersebut
menunjukkan penurunan drastis.
c.
Perlakuan yang tidak adil (unfair treatment). Kegiatan
pembelajaran dan proses interaksi dalam kelas seringkali bersifat merugikan
murid perempuan. Guru secara tidak sadar cenderung menaruh harapan dan
perhatian yang lebih besar kepada murid laki-laki dibanding murid perempuan.
Para guru kadangkala cenderung berpikir ke arah “self fulfilling prophecy”
terhadap siswa perempuan karena menganggap perempuan tidak perlu memperoleh
pendidikan yang tinggi.
d.
Dimensi akses adalah fasilitas
pendidikan yang sulit dicapai atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya
tanpa memilki otoritas untuk memutuskan terhadap produk/hasil maupun metode
pendayagunaan sumber daya tersebut. Faktor penyebabnya antara lain: kurang
tersedianya sekolah menengah di setiap kecamatan, jarak yang jauh dari tempat
tinggal, beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan pada anak. Akumulasi
dari faktor-faktor ini membuat banyak anak-anak yang cepat meninggalkan bangku
sekolah.
e.
Dimensi proses pembelajaran
adalah materi pendidikan seperti misalnya yang terdapat dalam contoh-contoh
soal dimana semua kepemilikan selalu mengatas namakan laki-laki. Dalam
buku-buku pelajaran seperti misalnya semua jabatan formal dalam buku seperti
camat dan direktur digambarkan dijabat oleh laki-laki. Selain itu ilustrasi
gambar juga bias gender, yang seolah-olah
menggambarkan bahwa tugas wanita adalah sebagai ibu rumah tangga dengan
tugas-tugas menjahit, memasak dan mencuci. Faktor penyebabnya stereotype gender.[10]
C.
Aplikasi Perbedaan Individu
Dalam Kelas
1.
Memahami pilihan gaya belajar
siswa kemudian menyediakan lingkungan belajar yang mendukung gaya belajar
mereka.
2.
Memberikan
pengalaman-pengalaman belajar yang menggabungkan pilihan cara belajar siswa,
menggunakan metode mengajar, intensitif, alat, dan situasi yang direncanakan
sesuai dengan pilihan siswa.
3.
Gunakan pembelajaran
individual, dan pembelajaran kelompok, atau antara aktifitas-aktifitas belajar
yang berpusat pada guru dengan pembelajaran yang berpusat pada siswa.
4.
Berikan waktu yang cukup untuk
memproses dan memahami informasi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perbedaan individu merupakan topik pembicaraan dalam psikologi pendidikan
yang tak akan habis didiskusikan dari zaman ke zaman. Dewasa ini, konsep
perbedaan individu semakin ramai dibicarakan dan diperhatikan banyak pihak
khususnya dalam bidang pendidikan. betapa tidak, pengaruh globalisasi dan
pesatnya perkembangan telah menggeser pola pikir, tindak dan karsa manusia.
Oleh karena itu, dalam bidang pendidikan sangat perlu untuk mendalami perbedaan
individu para pebelajar.
Dari uraian-uraian yang disampaikan dalam makalah ini, maka pemakalah dapat menyimpulkan beberapa hal yang terkait
dengan perbedaan individu, sebagai berikut:
1.
Perbedaan individu merupakan suatu hakikat
manusia, karena tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang sama. Walau mirip,
namun keduanya tetap tidak sama. Untuk mendalami ini ialah tugas dari psikologi
perkembangan. Dan para psikolog telah menemukan bahwa perkembangan individu
sangat dipengaruhi oleh hereditas (faktor internal) dan lingkungan (eksternal).
2.
Perbedaan individu dalam dunia pendidikan
tampak dalam perbedaan inteligensi, kepribadian dan temperamen, budaya
(sosio-ekonomi, bahasa, gender, situasi sosial kemasyarakatan, suku/ras) dan
juga perbedaan gaya berpikir dan gaya belajar siswa.
3.
Merupakan usaha/upaya guru (pendidik) dan
juga semua stake-holders dalam dunia pendidikan agar memperhatikan dan
mendalami berbagai gejala dan fakta perbedaan individu dalam konteks
pembelajaran. Pendidikan multikultural dan pendidikan berwawasan kesetaraan,
pendidikan dwibahasa merupakan contoh upaya dalam memajukan pendidikan yang
mampu merangkum semua peserta didik yang berbeda dalam satu kesatuan kegiatan
pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Amasari (Member of PSG LAIN), Laporan Penelitian Pendidikan
Berujatuasan
Gender . Banjarmasin: IAIN
Antasari, 2005
Dalyono. M., Psikologi
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta 2007
Erni Purwati, Hanun Asrohah., Bias Gender dalam Pendidikan
Islam. Surabaya:
Alpha, 2005
Hanun Asrohah., Sosiologi Pendidikan. Surabaya: Kopertais
Press, 2008
Hartono S., Perkembangan Peserta
Didik, Jakarta: Rineka Cipta, 1999
mukailiiimnh. vol. xv, no.
26 januari - juni 2009 31ichsan
Purwanto, N. Psikologi Pendidikan,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998
Santrock,
John W., terj. Tri Wibowo. Psikologi
Pendidikan. Jakarta: Kencana,
2008
[1]mukailiiimnh. vol. xv, no. 26
januari - juni 2009 31ichsan
[5]Ibid
[7]Ibid
[8]Hanun Asrohah, Sosiologi Pendidikan, (Surabaya: Kopertais
Press, 2008), hal. 178.
[9]Amasari (Member of PSG
LAIN), Laporan Penelitian Pendidikan
Berujatuasan Gender, (Banjarmasin: IAIN Antasari, 2005), hal. 31.
[10]Eni Purwati, Hanun Asrohah, Bias
Gender dalam Pendidikan Islam, (Surabaya: Alpha, 2005), hal. 30.