BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian model pengembangan kurikulum
Model atau kontruksi merupakan ulasan teoritis tentang suatu konsepsi
dasar. Dalam pengembangan kurikulum, model dapat merupakan ulasan teoritis
tentang suatu proses kurikulum secara menyeluruh atau dapat pula merupakan
ulasan tentang salah satu bagian kurikulum. Di samping itu, ada model yang
mempersoalkan keseluruhan proses dan ada pula yang hanya menitikberatkan pandangannya
pada mekanisme penyusunan kurikulumnya. Ulasan teoritis demikian dapat pula
hanya mengutamakan uraiannya pada segi organisasi kurikulum dan ada pula yang
menitikberatkan ulasannya hanya pada hubungan antar pribadi orang-orang yang
terlibat dalam pengembangan kurikulum. Aplikasi model-model sebaliknya
didasarkan pada faktor-faktor konstan, sehingga ulasan tentang model yang
dibahas dapat terungkapkan secara konsisten. Dasar pemikiran ini dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menganalisis model kurikulum.
Robert S. Zais (1976) dalam bukunya “Curiculum: Principle and
Foundations” mengemukakan delapan model pengembangan kurikulum[1].
Dasar teoritisnya adalah institusi atau orang yang menyelenggarakan
pengembangan, pengambilan keputusan, penetapan ruang lingkup kegiatan yang
termuat dalam kurikulum, realitas implementasinya, pendekatan permasalahan
dengan cara pelaksanaannya, penelitian sistematis tentang masalahnya, dan
pemanfaatan teknologi dalam pengembangan kurikulum. Secara singkat, model model
akan dikemukakan sebagai berikut :
1.
The administrative (line-staff) model
Model pengembangan kurikulum yang paling awal dan sangat umum dikenal
adalah model administratif karena model ini menggunakan prosedur “garis –
staff” atau garis komando “dari atas ke bawah”. Maksudnya, inisiatif
pengembangan kurikulum berasal dari jabatan tinggi (kemdiknas), kemudian secara
struktural dilaksanakan di tingkat bawah. Dalam model ini, pejabat pendidikan
membentuk panitia pengarah (steering committe) yang biasanya terdiri atas
pengawas pendidikan, kepala sekolah, dan guru-guru inti. Panitia pengarah ini
bertugas merumuskan rencana umum, prinsip-prinsip, landasan filosofis dan
tujuan umum pendidikan.
Selanjutnya, mereka membentuk kelompok-kelompok kerja sesuai dengan keperluan.
Anggota-anggota kelompok kerja umumnya terdiri atas guru-guru dan ahli
kurikulum. Tugasnya adalah merumuskan tujuan kurikulum yang spesifik, menyusun
materi, kegiatan pembelajaran, sistem penilaian, dan sebagainya sesuai dengan
kebijakan steering commitee. Hasil pekerjaanya direvisi oleh panitia pengarah,
jika dipandang perlu (tetapi hal ini jarang terjadi) akan diadakan uji
coba untuk meneliti atau mengetahui
efektivitas dan kelayakan pelaksanaannya. Hasil uji coba tersebut kemudian
disebarluaskan (desiminasi) dan kepada setiap sekolah dan madrasah untuk
mengimplementasikan kurikulum yang telah dikembangkan.
Pengembangan kurikulum model administratif menekankan kegiatannya pada
orang-orang yang terlibat sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.
Berhubung pengarah kegiatan berasal dari atas ke bawah, pada dasarnya model ini
mudah dilaksanakan pada negara yang menganut sistem sentralistik dan negara
yang kemampuannya profesional tenaga pengajarnya masih rendah. Kelemahan model
ini terletak pada kurang pekanya terhadap adanya perubahan masyarakat. Selain
itu, kurikulum ini biasanya bersifat seragam secara nasional sehingga
kadangkadang melupakan (atau mengabaikan) adanya kebutuhan dan kekhususan yang
ada pada setiap daerah. Model pengembangan ini dikembangkan di Indonesia
bertahun-tahun sejak kurikulum 1968 sampai dengan 2004.
2.
The grass-roots model
Inisiatif pengembangan kurikulum dalam model ini berada di tangan guru-guru
sebagai pelaksana kurikulum di sekolah, baik yang bersumber dari satu sekolah
sekaligus. Mereka memiliki kebutuhan dan keinginan untuk memperbaharui atau
menyempurnakannya. Tugas para administrator dalam pengembangan model ini, tidak
lagi berperan sebagai pengendali pengembangan kurikulum, tetapi hanya sebagai
fasilitator dan motivator (bimbingan dan dorongan), sehingga guru-guru dapat
melaksanakan tugas pengembangan kurikulumnya secara demokratis. Biasanya pada
langkah-langkah tertentu diselenggarakan loka karya untuk membahas
langkah-langkah yang telah berhasil dicapai dan menyiapkan program selanjutnya.
Dalam loka karya ini, selain guru-guru ada juga kepala sekolah, orang tua
murid, tokoh masyarakat, konsultan, dan sumber-sumber lainnya.
Perubahan atau penyempurnaan kurikulum dapat dimulai oleh guru secara
individual atau dapat juga oleh kelompok guru, misalnya kelompok guru mata
pelajaran dari beberapa sekolah atau madrasah seperti melalui wadah musyawarah
guru mata pelajaran (MGMP).
Di negara-negara yang menerapkan sistem pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan yang desentralistik, pengembangan model grassroots ini sangat
mungkin terjadi. Kebijakan pendidikan seperti ini tidak lagi diatur oleh pusat
secara sentralistik, tetapi ditentukan oleh daerah (distrik) bahkan oleh
sekolah dan guru. Oleh karena itu untuk memperoleh kualitas lulusan sekolah dan
madrasah, bisa terjadi persaingan antar sekolah dan madrasah atau antar daerah.
Pengembangan model ini hanya mungkin dapat dilakukan apabila guru-guru
disekolah dan madrasah memiliki kemampuan dan sikap profesional yang tinggi
yang memahami konsep dan teori pendidikan dan pembelajaran, jika sangat tidak
kecil kemungkinan perubahan bisa terjadi. Seiring dengan perubahan paradigma
dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia dari sentralisasi ke desentralisasi
atau otonomi penyelenggaraan pendidikan, model pengembangan kurikulum ini
dianut oleh pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) meskipun
tidak secara penuh. Standar isi yang mencakup lingkup materi dan tingkat
kompetensi lulusan setiap mata pelajaran pada setiap jenis dan jenjang
pendidikan masih ditetapkan secara terpusat melalui keputusan menteri
pendidikan nasional.[2]
Model ini didasarkan pada dua pandangan pokok, yaitu: pertama, implementasi
kurikulum akan lebih berhasil apabila guru-guru sebagai pelaksana sudah dari
sejak semula terlibat secara langsung dalam pengembangan kurikulum. Kedua,
pengembangan kurikulum bukan hanya melibatkan personel yang profesional (guru)
saja, tetapi juga siswa, orang tua, dan anggota masyarakat. Dalam kegiatan
pengembangan kurikulum demikian, kerja sama dengan orang tua murid dan
masyarakat sangatlah penting. Kerja sama di antara sesama guru dengan
sendirinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari model ini.
Model grass-roots ini didasarkan atas empat prinsip, yaitu: (a) kurikulum
akan bertambah baik, (b) kompetensi guru akan bertambah baik, (c) jika guru
terlibat dalam merumuskan tujuan yang ingin dicapai, menyeleksi, mendefinisikan
dan memecahkan masalah, mengevaluasi hasil, maka hasil pengembangan kurikulum
akan lebih bermakna, dan (d) hendaknya di antara guru-guru terjadi kontak
langsung sehingga mereka dapat saling memahami dan mencapai suatu konsensus
tentang prinsip-prinsip dasar, tujuan, dan rencana.[3]
3.
The demonstration model
Model ini dikembangkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kurikulum dalam
skala kecil. Dalam pelaksanaannya, model ini menuntut sejumlah guru dalam satu
sekolah untuk mengorganisasikan dirinya dalam memperbaharui kurikulum. Menurut
smith, stanley dan shores, model demonstrasi terdiri atas dua bentuk, yaitu[4] :
a.
Dalam bentuk pertama yang cenderung bersifat formal, sekelompok guru
diorganisasikan dalam suatu sekolah secara terpisah. Tugas mereka adalah
mengembangkan proyek percobaan kurikulum. Tujuannya sama seperti tim penelitian
dan pengembangan secara internal, yaitu untuk menghasilkan segmen baru dalam
kurikulum, dengan harapan hasilnya dapat diadopsi oleh kurikulum sekolah. Dalam
bentuk pertama ini, inisiatif dan organisasi kurikulum berasal dari atas
sehingga model ini dianggap sebagai representasi variasi model administratif.
b.
Dalam bentuk kedua dianggap kurang formal dibandingkan dengan bentuk
pertama karena guru-guru yang merasa kurang puas dengan kurikulum yang ada
membuat eksperimen didalam area tertentu. Mereka bekerja dalam bentuk
organisasi tak terstruktur atau bekerja sendiri-sendiri. Tujuannya untuk
menghasilkan alternatif praktik kurikulum. Jika eksperimen berhasil, maka
diusulkan untuk diadopsi pengguanaanya di seluruh sekolah.
Dengan demikian, model demonstrasi dapat dilaksanakan
baik secara formal maupun tidak formal. Keuntungan model demonstrasi antara
lain: (a) disebabkan kurikulum yang dihasilkan telah melalui uji coba dalam
praktik yang nyata, maka dapat memberikan alternatif yang dapat bekerja, (b)
perubahan kurikulum pada bagian tertentu cenderung lebih mudah disepakati dan
diterima daripada perubahan secara keseluruhan, (c) mudah untuk mengatasi
hambatan, dan (d) menempatkan guru sebagai pengambil inisiatif dan narasumber
sehingga para administrator dapat mengarahkan minat dan kebutuhan guru untuk
mengembangkan program-program baru. Kelemahan utama model ini adalah dapat
menghasilkan antagonisme baru. Guru-guru yang tidak terlibat didalam proses
pengembangan cenderung bersikap apatis, curiga, tidak percaya, dan cemburu.
Akibatnya, mereka akan menerima kurikulum baru itu dengan setengah hati.
4.
Model action
research
Model kurikulum ini didasarkan pada
asumsi bahwa perkembangan kurikulum merupakan perubahan sosial. Sesuai dengan
asumsi tersebut model ini menekankan pada tiga hal yaitu hubungan antar manusia, organisasi sekolah dan masyarakat, serta
otoritas ilmu. Penyusunan kurikulum harus memasukkan pandangan dan
harapan-harapan masyarakat, dan salah satu cara untuk mencapai hal itu adalah
dengan prosedur action research kurikulum model ini sudah melibatkan seluruh komponen
pendidikan yang meliputi siswa, orang tua, guru serta sistem sekolah. Kurikulum dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan para pemangku
kepentingan yang meliputi orang tua
siswa, masyarakat, penyusunan kurikulum
dilakukan dengan mengikuti prosedur action research. Sukmadinata menyebutkan ada dua
langkah dalam penyusunan kurikulum ini :
a)
Melakukan kajian tentang
data-data yang dikumpulkan sebagai bahan penyusunan kurikulum. data
(informasi) yang dikumpulkan hendaknya valid dan reliabel sehingga dapat
digunakan sebagai dasar yang kuat dalam pengambilan keputusan penyusunan
kurikulum. Data yang lemah akan mengakibatkan kesalahan dalam pengambilan
keputusan. Berdasarkan keputusan ini, disusunlah rencana yang menyeluruh
(komprehensif) tentang cara-cara mengatasimasalah yang ada.
b)
Melakukan implementasi atas
keputusan yang dihasilkan pada langkah pertama. Dari proses ini akan
diperoleh data-data (informasi) baru yang selanjutnya dimanfaatkan untuk
mengevaluasi masalah-masalah yang muncul dilapangan sebagai upaya tindak lanjut
untuk memodifikasi/memperbaiki kurikulum.
Langkah-langkah dalam model ini menurut Arifin adalah sebagai berikut:
a.
Merasakan adanya suatu masalah dalam
kelas atau sekolah yang perlu diteliti secara mendalam.
b.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
c.
Merencanakan secara mendalam tentang
bagaimana pemecahan masalahnya.
d.
Menentukan keputusan-keputusan apa
yang perlu diambil sehubungan dengan maslah tersebut
e.
Melaksanakan keputusan yang telah
diambil dan menjalankan rencana yang telah disusun
f.
Mencari fakta secara meluas
g.
Menilai kekuatan dan kelemahannya
5.
Model Tyler
Tyler lebih
bersifat bagaimana merancang kurikulum sesuai dengan tujuan dan misi suatu pendidikan dalam Proses pengembangan
kurikulum, Tyler mengatakan bahwa ada empat
penentu dalam pengembangan kurikulum :
a.
Menentukan tujuan pendidikan
Tujuan
pendidikan merupakan arah atau sasaran akhir yang harus dicapai dalam program
pendidikan dan pembelajaran. Tujuan pendidikan harus menggambarkan perilaku
akhir setelah peserta didik mengikuti program pendidikan.
Ada tiga
aspek yang harus dipertimbangkan sebagai sumber dalam penentuan tujuan pendidikan
menurut Tyler, yaitu :
1.
Hakikat
pesarta didik
2.
Kehidupan
masyarakat masa kini dan
3.
Pandangan
para ahli bidang studi
Penentuan tujuan pendidikan dengan berdasarkan masukan
dari ketiga aspek tersebut. Selain itu ada lima faktor yang menjadi arah
penentu tujuan pendidikan, yaitu : pengembangan kemampuan berfikir, membantu
memperoleh informasi, pengembangan sikap kemasyarakatan, pengembangan minat
peserta didik, dan pengembangan sikap sosial.
b.
Menentukan proses pembelajaran
Menentukan proses pembelajaran apa yang paling cocok
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu aspek yang harus
diperhatikan dalam penentuan proses pembelajaran adalah persepsi dan latar
belakang kemampuan paserta didik.
c.
Menentukan organisasi pengalaman
belajar
Setelah
proses pembelajaran ditentukan, selanjutnya menentukan organisasi pengalaman
belajar. Pengalaman belajar di dalamnya mencakup tahapan-tahapan belajar dan
isi atau materi belajar. Bahan yang harus dilakukan, diorganisasikan sedemikian
rupa sehingga dapat memudahkan dalam pencapaian tujuan.
d.
Menentukan evaluasi pembelajaran
Menetukan
jenis evaluasi apa yang cocok digunakan, merupakan kegiatan akhir dalam model
Tyler. Jenis penilaian yang akan digunakan, harus disesuaikan dengan jenis dan
sifat dari tujuan pendidikan atau pembelajaran, materi pembelajaran, dan proses
belajar yang telah ditetapkan sebelumnya. Agar penetapan jenis evaluasi bisa
tepat, maka para pengembang kurikulum disamping harus memerhatikan
komponen-komponen kurikulum lainnya, juga harus memerhatikan prinsip-prinsip
evaluasi yang ada.
Proses
evaluasi merupakan langkah yang sangat penting untuk mendapatkan informasi
tentang ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan. Ada dua aspek yang perlu
diperhatikan sehubungan dengan evaluasi, yaitu:
1.
Evaluasi harus menilai apakah telah
terjadi perubahan tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah
dirumuskan.
2.
Evaluasi sebaiknya menggunakan lebih dari satu
alat penilaian dalam suatu waktu tertentu.
Ada dua
fungsi evaluasi, yaitu:
1.
Evaluasi digunakan untuk memperoleh
data tentang ketercapaian tujuan oleh peserta didik. Fungsi ini dinamakan
fungsi sumatif.
2.
Untuk meilhat efektivitas proses pembelajaran.
Fungsi ini dinamakan fungsi formatif.
6. Model robert M. Diamond
a.
Pengembangan
dan aktualisasi kurikulum
salah satu
indikasi keberhasilan guru dalam melaksanakan tugas mengajar adalah dapat ia menjabar, mengembangan dan
mengaktualisasikan kurikulum makro (ideal/potensi) menjadi kegiatan nyata
(aktual/real) dalam pembelajar di kelas. Artinya bahan atau materi pelajaran
dapat di sajikan baik kepada siswa sesuai dengan petunjuk untuk pelaksanaan kurikulum GBPP/silabus, dan sekaligus dapat
di pahami serta di kuasai oleh siswa dengan penuh makna.
Dewasa ini
dalam berbagai bidang telah terjadi perkembangan yang cukup baik, tetapi tidak
demikian halnya dalam bidang pendidikan, terutama pada kualitas pembelajaran
dan hasil belajar /prestasi akademik siswa. Hal
ini diduga, karena masih ada komponen suatu yang belum bekerja secara optimal, terutama komponen
guru/dosen/ staf pengajar.
Salah satu
kelemahan yang sebenarnya merupakan kunci pokok di keberhasilan suatu program
pendidikan /pembelajaran, hal itu diketahui dari beberapa penelitian yang
dilakukan, mengemukakan bahwa, ternyata masih banyak guru tidak pernah
mempelajari GBPP, dan tidak menggunakannya pada waktu penyusunan pelajaran
(perencanaan mengajar) padahal idealnya seorang guru itu harus tahu apa yang
ada di hulu apa yang terjadi di muara. Artinya
seorang guru mesti paham dengan pertanyaan-pertanyaan filosolis yang menjadi
latar belakng dari mata pelajarannya sendiri.
Salah satu upaya untuk
menutupi kelemahan dan kekurangan yang dirasakan semua ini. Maka selayaknya
guru/dosen/staf pengajar, dan orang-orang yang setiap harinya bergabung dengan
kurikulum dan pembelajaran meningkatkan (pembaharuan, penghayatan, dan
penguasaannya terhadap kurikulum secara lebih komprehensif.
b.
Aktualisasi
kurikulum ideal/potensial kurikulum menjadi kurikulum real/actual
Mengaktualisasikan
kurikulum artinya dalah mewujudkan kurikulum ideal/potensial, yakni kurikulum
tertulis yang berisiskan sejumlah pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan
(yang di harapkan di kuasai/dimiliki oleh siswa setelah mengikuti
pembelajaran).
Menjadi
kurikulum nyata dalm pembelajaran di kelas mewujudkan kurikulum ideal menjadi
kurikulum aktual, juga berarti mentransformasikan semua pengetahuan,
nilai-nilai, norma-norma, sikap, dan keterampilan yang termuat dalam kurikulum, kepada siswa /peserta didik mulai
pembelajaran di kelas.
7.
Model
Beauchamp
Dalam bukunya Curriculum Theory oleh G.A Beuchamp (1975) ada lima langkah
kritis dalam mengambil keputusan pengembangan kurikulum yaitu pertama,
menentukan area pengembangan kurikulum yang berupa kelas, sekolah, sistem
pendididkan nasional. Kedua,
memilih dan mengikutsertakan pengembangan kurikulum yang terdiri atas spesialis
kurikulum, perwakilan kelompok-kelompok profesional, guru-guru, dan kelompok
masyarakat. Ketiga, pengorganisasian dan penentuan prosedur perencanaan
kurikulum yang meliputi tujuan kurikulum, memilih materi pelajaran,
mengembangkan desain dan kegiatan pembelajaran. Keempat, pelaksanaan kuriklum
secara sistematis. Kelima, evaluasi kurikulum dengan kaidah penggunaan
kurikulum oleh guru, desain kurikulum, hasil belajar peserta didik dan sistem kurikulum. Keuntungannya
penegasan area, sehingga mudah dan jelaslah ruang lingkup kegiatan.
Kelemahannya sama dengan model administratif yaitu kurangnya dampak
perubahan kurikulum, karena hasil kegiatannya dilaksanakan dari atas tanpa
memperhatikan bawahan, dan diterapkan secara seragam pada kebutuhan dan
kekhususan daerah yang menuntut adanya variasi sesuai situasi dan kondisinya
masing-masing.
8.
Model
Terbalik Hilda Taba
Model
ini ditempuh secara induktif yang merupakan inversi atau arah balik dari model
tradisional sehingga model ini dapat mendorong inovasi dan kreatifitas
guru-guru. Model ini dimulai dengan melaksanakan eksperimen, diteorikan
kemudian diimplementasikan, dengan maksud untuk menyesuaikan antara teori dan
praktik, serta menghilangkan sifat keumuman dan keabstrakkan kurikulum, maka
ada kegiatan eksperimental. Lima langkah yang ditempuh dalam model ini yaitu, sejumlah staf pengajar
terlebih dahulu menghasilkan unit-unit kurikulum yang akan diekseprimenkan,
mengujicobakan unit-unit kurikulum yang akan dieksperimenkan, merevisi hasil
yang diujicobakan serta mengkonsultasikannya, mengembangkan kerangka kerja
teoritis, dan mengasembling dan mendiseminasikan hasil yang telah diperoleh. Model Hubungan Interpersonal dari Roger model
ini mendekatkan permasalahan dengan para pelaksanaannnya sehingga memudahkan
pemecahannya, namun model ini sukar dilaksanakan, karena memakan waktu lama dan
sulit diorganisasikan. Roger mendasarkan pandangannya pada kurikulum yang
diperlukan dalam rangka pengembangan individu yang terbuka, luwes, dan adaptif
terhadap situasi perubahan. Untuk itu dibutuhkan pengalaman kelompok dalam melatih hal-hal yang
bersifat sensitif, dengan kinerja kelompok tersebut tidak berstruktur, tetapi
harus menyediakan lingkungan yang memungkinkan seseorang dapat berekspresi
secara bebas. Langkah-langkah
model ini yaitu, pemilihan administrator yang individu tersebut harus
berpartisipasi aktif , dan memberi keakraban dengan kelompok lain. Kedua,
mengikutsertakan guru-guru dalam pengalaman kelompok secara intensif.
Meyelenggarakan pertemuan secara interpersonal antara adminstrator, guru . Dan
orang tua peserta didik karena tujuan utamanya mereka bisa saling mengenal
secara pribadi untuk memudahkan memecahkan masalah disekolah.
B.
Analisis terhadap model-model pengembangan kurikulum
Ada tiga faktor yang digunakan untuk menganalisis model-model pengembangan
tersebut, yaitu: (a) penekanan pada suatu titik pandangan tertentu, (b)
keuntungan-keuntungan yang diperoleh melalui model tersebut, dan (c)
kekurangan-kekurangan.
Pada model administratif penekanan diberikan pada orang-orang yang
terlibat dalam pengambangan kurikulum dengan uraian tugas dan fungsinya
masing-masing, di samping pengarahan kegiatan yang bercirikan dari atas ke
bawah. Model ini pada dasarnya mudah dilaksanakan pada negara penganut sistem
sentralisasi dalam pengembangan kurikulum dan juga bagi negara yang kemampuan
profesinaol guru-gurunya masih lemah. Kekurangannya terletak pada kurangnya
dampak perubahan kurikulum, karena hasil kegiatannya seolah-olah dilaksanakan
dari atas tanpa memperhatikan people change. Hal lainnya adalha dihasilkan
diterapkan secara seragam pada kebutuhan dan kekhususan-kekhususan daerah
menuntut adanya variasi sesuai situasi dan kondisinya masing-masing. Titik
pandangan model dari bawah diletakkan pada pengembangan kurikulum yang
diselenggarakan secara demokratis yaitu dari bawah. Keuntungannya adalah proses
pengambilan keputusan terletak pada pelaksana, mengikutsertakan banyak pihak
bawah, yaitu guru-guru. Bedasarkan hal, itu maka terkuaklah tirai broken front
sebagaimana lazim ditemui apabila pembaruan kurikulum disodorkan dari atas.
Kekurangannya yang paling menonjol model ini mengabaikan segi teknis dan
profesional tentang kurikulum.
Model demonstrasi jelas mengutamakan pemberian contoh dan teladan
yang baik dengan harapan agar yang didemonstrasikan akan diadopsi oleh guru
atau sekolah lain. Keuntungannya terletak pada suatu segmen kurikulum yang
dipajang dan tentunya sudah melalui testing sehingga terjamin akurasi
dan validitasnya. Sebagaimana model dari bawah, maka model ini juga menembus broken
front. Ekses yang timbul dari model ini adalah guru-guru yang tidak iku
serta dalam pengembangan kurikulum bisa menentang gagasan-gagasan yang telah
dihasilkan. Model beachamp melihat dari segi keseluruhan proses kurikulum.
Keuntungan yang menonjol adalah penegasan arena sehingga mudah dan jelaslah
ruang lingkup kegiatan. Kerugiannya sama dengan model top down.
Model terbalik Hilda Taba mendekatkan kurikulum dengan realitas
pelaksanaannya melalui pengujian terlebih dahulu oleh guru-guru profesional.
Model ini sungguh-sungguh mengintegrasikan teori dengan praktik, tetapi sulit
mengorganisasikannya karena memerlukan kemampuan teoritis dan profesional yang
tinggi dari guru-gru atau administrator pelaksananya. Model hubungan
interpesonal dari Rogers mengutamakan hubngan antar pribadi dengan
harapan dapat menghasilkan penerapan kurikulum yang lebih baik dan sukses,
karena kurangnya tekanan dan hierarki. Model ini mendekatkan permasalahan
dengan para pelaksananya sehingga memudahkan pemecahannya. Meskipun demikian,
model ini sukar dilaksanakan karena mahal, waktunya relatif lama dan sukar
diorganisasikan.
Model Action Research mengutamakan penelitian
sistematis oleh orang lapangan tentang masalah-masalah kurikulum. Hal demikian
jelas mendekatkan permasalahan kurikulum dengan realitas penerapannya. Di sini
hanya hubungan antar pribadi yang dipentingkan, tetapi juga diperhatikan
tentang hubungan sekolah dengan masyarakat dan adanya otoritas ilmiah.
Kesukaran dari model ini adalah penerapannya memerlukan staf profesional khusus
yang terlatih dalam penelitian dan dengan sendirinya dalam pelaksanaannya
diperlukan biaya yang tinggi. Model terakhir, yaitu model teknologis yang
memanfaatkan penemuan teknologi dalam pengembangan kurikulum. Model ini sudah
jelas diselenggerakan secara sistematis dan dapat pula menjakau kawasan yang
luas. Meskipun demikian, keahlian serta spesialisasi profesional merupakan penghambat
bila model ini digunakan.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa titik pandang yang
diletakkan para pengembang model berbeda-beda. Kita tidak dapat mengatakan
suatu model lebih ampun dari model lainnya karena masing-masing model memiliki
keuntungan dan kekurangannya. Apabila kita ingin menerapkan suatu model,
sebaiknya dikaji terlebih dahulu situasi dan kondisi kerja yang ada serta
kepentingan kita, kemudian menentukan model manakah yang dapat diterapkan
dengan memanfaatkan kelebihan-kelebihan beberapa model.
C.
Model pengembangan kurikulum di Indonesia
Ada dua jenis model pengembangan kurikulum yang telah dan sedang ditempuh
di Indonesia, yaitu model yang berorientasi pada tujuan (goal-oriented
curriculum) dan model kurikulum berbasis kompetensi (competency-based
curriculum). Model pertama, yaitu kurikulum berorientasi pada tujuan, telah
digunakan di Indonesia sudah sejak lama, yaitu sejak digunakannya kurikulum
formal di Indonesia sampai dengan tahun 1994 yang berlaku efektif sampai dengan
tahun 2003. Pertanyaan yang pertma-tama timbul dalam model ini adalah
tujuan-tujuan apakah yang ingin dicapai, atau pengetahuan, keterampilan dan
sikap apakah yang kita harapkan dimiliki siswa setelah menyelesaikan kurikulum?
Sebagai jawaban terhadap pertanyaan pokok tersebut, kemudian dirumuskanlah
tujuan-tujuan dalam bentuk pengetahuan, keterampialan, sikap dan nilai-nilai,
mulai dari tujuan pendidikan nasional sampai dengan tujuan tingkah laku yang
dapat diamati dan dapat diukur. Atas dasar itulah selanjutnya ditetapkan
pokok-pokok materi dan prosedur pembelajaran, yang kesemuanya diarahkan untuk
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Model kurikulum yang berorientasi pada tujuan memiliki kebaikan-kebaikan,
antara lain: (a) tujuan yang ingin dicapai jelas bagi penyusun kurikulum, (b)
tujuan-tujuan tersebut akan memberikan arah yang jelas di dalam menetapkan
materi pelajaran, metode, jenis-jenis kegiatan dan alat yang diperlukan untuk
mencapai tujuan, (c) tujuan-tujuan itu akan memberikan arah dalam melakukan
penilaian terhadap proses dan hasil yang dicapai, dan (d) hasil evaluasi yang
berorientasi pada tujuan tersebut akan membantu pengembang kurikulum di dalam
melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan.
Mengingat model ini banyak kelemahannya, maka sejak tahun 2004 Indonesia
menggunakan model kurikulum ini jauh lebih berat dan rumit dibandingkan dengan
kurikulum yang berorientasi pada tujuan karena kompetensi bukan “sesuatu yang
ingin dicapai” melainkan “sesuatu yang harus dikuasai” oleh peserta didik.
Implikasinya adalah guru harus menggunakan multistrategi pembelajaran dengan
penekanan utama pada keterlibatan peserta didik secara aktif, kreatif, efektif
dan menyenangkan dalam belajar, guru harus menggunakan multimedia, sumber
belajar dan lingkungan yang dapat menarik minat peserta didik untuk belajar,
dan guru juga harus mengggunakan model penilaian berbasis kelas dengan berbagai
jenisnya untuk mengetahui tingkat penguasaan kompetensi peserta didik.
[1] Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2012, hal 137